Hanya dalam waktu 100 juta tahun, planet Saturnus akan kehilangan cincinnya seiring dengan semakin tingginya hujan partikel es dari cincin ke Saturnus.
Fenomena ini pertama kali diketahui ketika Voyager 1 dan 2 menyambangi planet gas raksasa tersebut pada tahun 1980an. Kehilangan massa cincin itu terjadi akibat gravitasi Saturnus yang menarik materi dalam cincin untuk menghujani planet tersebut. Hujan partikel es ini bukan saja karena gravitasi. Medan magnetik Saturnus juga ikut memengaruhi hujan partikel es itu.
Ketika partikel-partikel es ini menghujani Saturnus, air yang ada di cinicn juga ikut terkuras habis. Bahkan lajunya sangat cepat. Dalam setengah jam, seluruh air dalam kolam renang standar Olimpiade habis terkuras!
Dari pola ini, Saturnus bisa kehilangan seluruh cincinnya dalam waktu 300 juta tahun. Tapi, data Cassini memperlihatkan hal berbeda. Dari hujan partikel cincin ke Saturnus di area ekuator, Cassini justru melihat kalau Saturnus akan kehilangan cincinnya dalam waktu kurang dari 100 juta tahun!
Cincin Saturnus
Cincin Saturnus terbentuk dari materi gas dan debu yang terperangkap dalam gravitasi Saturnus. Pertanyaannya, apakah cincin ini terbentuk bersama Saturnus atau merupakan hasil tangkapan Saturnus dari waktu ke waktu. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia cincin Saturnus tidak lebih dari 100 juta tahun. Ini waktu yang dibutuhkan cincin-C untuk berevolusi dari cincin yang padat jadi cincin tipis seperti saat ini.
Jika Saturnus akan kehilangan cincinnya dalam waktu 100 juta tahun lagi, itu artinya kita sedang melihat cincin Saturnus pada setengah masa hidupnya. Dari ide ini, jika cincin pada planet hanya sementara, bisa jadi kita sudah kehilangan momen untuk menyaksikan cincin yang lebih indah dan padat pada planet gas raksasa lainnya. Saat ini, Jupiter, Uranus dan Neptunus hanya memiliki cincin tipis!
Apabila cincin memang hasil tangkapan, maka seharusnya cincin es ini berasal dari tabrakan satelit-satelit kecil Saturnus. Kemungkinan, satelit-satelit tersebut mengalami gangguan orbit akibat interaksi gravitasi sesama satelit atau dari asteroid dan komet yang melintas.
Hujan cincin atau lebih tepatnya hujan partikel es dari cincin ke Saturnus pertama kali diketahui lewat pengamatan Voyager. Yang menarik, bukti ini justru muncul ketika Voyager melakukan pengamatan untuk memahami fenomena variasi pada ionosfer Saturnus yang bermuatan, variasi kerapatan pada cincin Saturnus dan tiga pita gelap sempit yang mengelilingi Saturnus pada lintang tengah utara. Pita gelap ini muncul dalam citra stratosfer Saturnus yang dipotret Voyager 2 pada tahun 1981.
Pada tahun 1986, Jack Connerney dari NASA Goddard memperlihatkan adanya hubungan antara pita gelap sempit tersebut dengan medan magnetik Saturnus. Menurut Jack, partikel-partikel es bermuatan dari cincin Saturnus mengalir ke bawah garis-garis medan magnetik yang tidak tampak dan membuang air pada lapisan atmosfer teratas Saturnus di mana garis-garis medan magnetik ini muncul. Masuknya air dari cincin ke Saturnus ini tampak pada lintang tertentu, menyapu seluruh kabut stratosfer dan tampak gelap dalam cahaya yang dipantulkan. Akibatnya terbentuklah pita gelap sempit yang dilihat Voyager 2.
Tarik Menarik Saturnus dan Cincin
Cincin Saturnus terdiri dari air es yang ukurannya merentang dari debu mikroskopik sampai bongkahan berukuran beberapa meter. Partikel – partikel es pada cincin ini terperangkap dalam gravitasi Saturnus. Akibatnya materi ditarik ke cincin oleh gravitasi Saturnus, tapi pada sisi lain kecepatan orbit setiap partikel juga memberi perlawanan untuk bergerak menjauh. Terjadi kesetimbangan dan partikel-partikel es itu tetap jadi cincin yang mengitari Saturnus.
Tapi, partikel-partikel kecil ini juga bisa jadi bermuatan ketika terpapar cahaya ultraungu Matahari atau dari awan plasma tabrakan mikrometeorit pada cincin. Ketika hal ini terjadi, partikel akan ditarik oleh medan magnetik Saturnus yang melengkung ke arah planet. Akibatnya kesetimbangan yang sudah terjadi lenyap dan gravitasi Saturnus pun menang untuk menarik partikel-partikel es ini di sepanjang garis medan magnetik ke atmosfer teratas planet Saturnus.
Setelah tiba di atmosfer teratas Saturnus, partikel es menguap dan air pun mengalami reaksi kimia dengan ionosfer Saturnus. Salah satu hasilnya adalah peningkatan kala hidup partikel bermuatan yang dikenal sebagai ion H3+. Ion ini terbentuk dari 3 proton dan 2 elektron. Ketika terpapar sinar Matahari, ion H3+ akan bersinar pada panjang gelombang inframerah. Inilah yang berhasil diamati oleh Teleskop Keck di Mauna Kea, Hawaii.
Hasil pengamatan ini memperlihatkan pendar cahaya dari garis medan magnet yang memotong cincin dan kemudian masuk dalam planet, pada belahan utara dan selatan Saturnus. Analisa cahaya kemudian digunakan untuk mengetahui intensitas hujan partikel dari cincin yang memengaruhi ionosfer Saturnus. Hasilnya, intensitas hujan partikel yang terjadi sangat tinggi dan memang sesuai dengan hasil yang sudah ada sebelumnya. Diketahui pula kalau inensitas hujan paling tinggi justru terjadi di selatan.
Hasil lainnya, pada area lintang tinggi di selatan Saturnus, terjadi juga hujan yang berasal dari geyser yang dilontarkan oleh Enceladus. Pengamatan lebih lanjut juga akan dilakukan untuk mengetahui perubahan hujan partikel seiring perubahan iklim di Saturnus.