Hujan dan Salju di Mars Purba

Bayangkan mengunjungi Mars di masa lalu, ada dunia yang jauh dari gambaran gersang, tandus, dan dingin yang kita kenal sekarang.

Ilustrasi air mengalir di Kawah Jazero, Mars. Kredit: NASA/JPL-Caltech

Di masa itu, salju atau hujan turun dari langit, sungai-sungai mengalir deras di lembah-lembah, dan ratusan danau tersebar di permukaannya.

Gambaran ini bukan fiksi ilmiah, melainkan hasil penelitian terbaru dari para ahli geologi Universitas Colorado Boulder. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa curah hujan yang cukup deras kemungkinan membentuk banyak jaringan lembah dan saluran air yang hingga kini masih terlihat jelas di Mars. Bahkan kita bisa bandingkan Mars dengan citra Utah di Google Earth karena keduanya punya pola yang mirip.

Mars yang Dulu Beda

Mayoritas ilmuwan setuju bahwa sekitar 4,1 hingga 3,7 miliar tahun lalu, pada masa epoka Noachian, air pernah mengalir di permukaan Mars. Tapi, dari mana air itu berasal masih jadi perdebatan panjang. Apakah dari hujan dan salju? Atau sekadar hasil mencairnya lapisan es?

Sebagian ilmuwan percaya Mars selalu dingin dan kering, dengan lapisan es yang hanya mencair sesekali. Apalagi, pada masa itu, Matahari masih 25% lebih redup dibanding sekarang.

Dalam penelitian ini, para astronom menggunakan simulasi komutasi untuk menguji kedua skenario: curah hujan versus es mencair. Hasilnya? Hujan dan salju memberikan gambaran yang lebih cocok dengan bentuk permukaan Mars saat ini.

Jejak Air di Planet Kering

Citra satelit modern masih menunjukkan “sidik jari” air di Mars. Jaringan kanal di sekitar ekuator Mars menyebar dari dataran tinggi dan bermuara ke danau, bahkan mungkin samudra purba.

Salah satu contohnya adalah Kawah Jezero, yang kini dijelajahi oleh rover Perseverance. Di masa lalu, sungai besar mengalir ke kawah ini dan membentuk delta besar di dasarnya. Dan untuk itu, butuh aliran air sedalam beberapa meter untuk membawa bongkahan batu seperti itu.

Para astronom ini kemudian membang bentang alam Mars dalam versi digital menggunakan perangkat lunak yang awalnya dikembangkan untuk studi Bumi. Para astronom ini memodelkan lanskap mirip Mars di dekat ekuator. Lalu “menyiramnya” dengan hujan atau mencairkan es, dan akhirnya membiarkan air mengalir selama ribuan hingga ratusan ribu tahun.

Planet Mars atau Bumi Purba?

Yang menarik, simulasi dengan hujan menunjukkan mata air bisa muncul di mana saja, dari ketinggian rendah hingga lebih dari 3.000 meter. Tapi jika hanya mengandalkan es mencair, lembah-lembah baru hanya muncul di sekitar tepi es.

Ketika tim membandingkan pola-pola ini dengan data nyata dari satelit Mars, simulasi curah hujan terbukti lebih mirip dengan kondisi nyata di planet tersebut.

Meski belum bisa disimpulkan secara mutlak, studi ini memperkuat ide bahwa Mars kuno mungkin jauh lebih hangat dan basah dari yang kita bayangkan. Tapi, setelah erosi oleh air berhenti, Mars seperti membeku dalam sekejap. Wajah Mars saat ini diperkirakan tak jauh berbeda dari Bumi purba 3,5 miliar tahun lalu.

Siapa sangka, saat melihat lanskap tandus Mars hari ini, kita sebenarnya sedang mengintip cermin masa lalu Bumi. Dan mungkin, kisah air dan hujan di Mars adalah bagian dari teka-teki besar tentang bagaimana planet bisa menjadi tempat tinggal… atau tidak.

Tinggalkan Balasan