Es Murni di Mars: Harta Karun di Balik Debu Merah

Di lereng-lereng pegunungan dan kawah Mars, terbentang alur-alur misterius yang tampak seperti madu kental yang membeku di tengah aliran.

Glasier di Mars. Kredit: NASA/JPL-Caltech/University of Arizona

Meski tampak padat dan lamban, fitur-fitur ini sejatinya adalah gletser, aliran es yang sangat lambat, tertutup debu dan batuan. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan mengira bahwa gletser ini hanyalah tumpukan batu yang dibalut lapisan es tipis. Namun, penelitian terbaru membalikkan asumsi tersebut secara drastis.

Penelitian terbaru mengungkap bahwa sebagian besar gletser di Mars ternyata mengandung lebih dari 80% air es, menjadikannya sumber daya yang sangat murni dan tersebar luas di seluruh planet. Temuan ini bukan hanya penting untuk memahami sejarah iklim Mars, tetapi juga membuka peluang besar bagi pemanfaatan es sebagai sumber air untuk eksplorasi manusia di masa depan.

Penelitian ini dipimpin oleh Yuval Steinberg, lulusan Weizmann Institute of Science di Israel, bersama dua ilmuwan senior: Oded Aharonson dan Isaac Smith dari Planetary Science Institute, yang juga memiliki afiliasi akademik di Weizmann dan York University.

Tim peneliti menganalisis lima lokasi gletser berbeda di permukaan Mars, yang mencakup wilayah dari belahan utara hingga selatan planet. Yang mengejutkan, kelima lokasi tersebut menunjukkan karakteristik fisik yang hampir sama, yakni kandungan es murni yang sangat tinggi. Hal ini memberi indikasi kuat bahwa Mars pernah mengalami satu periode glasiasi besar atau beberapa periode glasiasi yang serupa secara karakteristik.

Sebelum memulai analisis mendalam, tim menemukan bahwa berbagai penelitian sebelumnya menggunakan teknik berbeda di lokasi berbeda, membuat hasilnya sulit dibandingkan. Untuk itu, mereka mengembangkan pendekatan standar dalam menganalisis gletser tertutup puing ini. Mereka mengukur dua parameter utama: dielectric property (bagaimana gelombang radar merambat dalam material) dan loss tangent (seberapa cepat energi dari gelombang radar diserap oleh material). Dari parameter inilah dapat diketahui rasio antara es dan batu dalam gletser, sesuatu yang tidak dapat diungkap hanya lewat pengamatan visual.

Untuk membantu pengamatan, mereka menggunakan instrumen SHARAD (SHAllow RADar) pada wahana Mars Reconnaissance Orbiter milik NASA, yang mampu menembus permukaan Mars hingga beberapa ratus meter. Dengan data dari lima lokasi, mereka membangun pemetaan yang mewakili kondisi global gletser di planet tersebut.

Isaac Smith, salah satu penulis studi, menjelaskan bahwa kesamaan sifat di semua lokasi menunjukkan bahwa mekanisme pembentukan dan pelestarian gletser kemungkinan besar serupa di seluruh planet. Artinya, kita bisa menyimpulkan bahwa Mars memiliki sejarah glasiasi global yang konsisten.

Selain memberi pemahaman baru tentang dinamika es Mars, studi ini juga sangat penting untuk misi manusia di masa depan. Jika air bisa diperoleh langsung dari es murni di permukaan, maka kebutuhan akan pasokan dari Bumi dapat dikurangi drastis.

Langkah selanjutnya, tim akan memperluas analisis ke lebih banyak lokasi, memperkuat pemahaman tentang “perpustakaan es” Mars yang tersembunyi di balik lapisan debu merahnya. Dengan setiap penemuan, kita semakin dekat untuk menjadikan Mars bukan sekadar dunia misterius, tetapi tempat yang suatu hari bisa ditapaki manusia dengan sumber daya lokal yang memadai.

Tinggalkan Balasan