Menyibak Rahasia “Planet Lava”

Penelitian terkini yang dipimpin astronom York University memformulasikan penjelasan hubungan interior–atmosfer pada “planet lava”.

Ilustrasi planet lava. Kredit: Romain Jean-Jaques

Saat teleskop ruang angkasa dan darat memantau ribuan exoplanet, sekelompok dunia ultra‐panas, dijuluki planet lava, tampil sebagai laboratorium alam tentang evolusi planet. Berjarak sedekat-dekatnya dengan bintang induk, planet seukuran Bumi hingga super-Bumi ini menyelesaikan satu tahun dalam kurang dari 24 jam. Sisi siang menyentuh suhu begitu tinggi hingga batuan silikat meleleh bahkan menguap; sisi malamnya membeku di bawah rerimbun lava beku. Fenomena dramatis tersebut mengundang pertanyaan: bagaimana interior dan atmosfer planet lava berkembang seiring waktu

Charles-Édouard Boukaré, dosen fisika dan astronomi di York University, bersama kolaborator internasional, membangun model numerik beresolusi tinggi untuk menjawab teka-teki itu. Mereka menggabungkan dinamika fluida geofisika, kimia atmosfer, dan mineralogi dalam simulasi berdimensi tiga. Hasilnya, tim menguraikan dua kondisi ujung yang mewakili perjalanan hidup planet lava:

  1. Interior Sepenuhnya Cair – Fase Muda
    Pada tahap ini, mantel planet tetap meleleh total. Atmosfer tebal yang terangkat dari samudra magma memantulkan komposisi kimia keseluruhan planet, termasuk besi, magnesium, dan silikon. Arus konveksi panas yang deras di lautan lava memungkinkan energi berpindah menembus sisi malam, menjaganya tetap panas dan dinamis.
  2. Interior Sebagian Besar Mengeras – Fase Tua
    Seiring miliaran tahun, interior mendingin. Hanya lapisan dangkal “laut lava” yang bertahan di sisi siang. Atmosfer menipis dan kehilangan elemen mudah menguap seperti natrium, kalium, serta besi, menghasilkan dunia lebih kecil, padat, dan miskin gas.

Proses kunci di balik transisi ini mirip destilasi raksasa: saat batuan melebur atau menguap, unsur-unsur memisah ke fase padat, cair, atau gas secara berbeda. Orbit yang terkunci pasang terhadap bintang memastikan kesetimbangan uap-cair dan padat-cair terjaga dalam skala waktu geologi, sehingga evolusi kimia berlangsung terus-menerus.

Model Boukaré dkk. tak lahir dari ruang hampa. Mereka menyesuaikan metode yang sebelumnya dipakai mempelajari planet batuan cair pasca-terbentuk di tata surya muda. Kini, pendekatan serupa diterapkan pada “dunia ekstrem” yang mudah diamati karena orbit super-pendeknya, membuka kesempatan menguji teori dengan data nyata.

Validasi tersebut akan datang melalui 100 jam pengamatan James Webb Space Telescope, yang berhasil diamankan tim peneliti. Dengan spektroskopi inframerah JWST, ilmuwan dapat memeriksa jejak natrium, kalium, dan uap silikat dalam atmosfer planet lava kandidat. Apabila atmosfer planet berusia tua terbukti kekurangan unsur-unsur itu, maka model “destilasi geologis” ini kian kuat. Sebaliknya, temuan atmosfer kaya logam berat pada planet muda bakal mengonfirmasi tahap interior cair sepenuhnya.

Implikasinya melampaui planet lava. Kerangka ini menyediakan pijakan teoritis untuk memahami bagaimana planet batuan di tata surya maupun exoplanet lain mendingin, berdiferensiasi, dan mungkin mempertahankan atmosfer. Dengan kata lain, dunia panas yang ekstrem ternyata memantulkan proses serupa, meski dalam versi super, yang juga membentuk Bumi jutaan tahun silam.

“Jika kita mampu membedakan planet lava muda dan tua,” kata Boukaré dalam rilis penelitiannya, “kita berpindah dari foto statis menuju film evolusi planet.” Dalam beberapa tahun ke depan, kombinasi JWST, teleskop raksasa di darat, dan model numerik yang kian canggih diperkirakan akan menyingkap narasi lebih lengkap tentang bagaimana planet batuan lahir, berubah, dan mungkin, suatu saat, menjadi kanvas bagi kehidupan.

Tinggalkan Balasan