Samudra Purba di Bawah Permukaan Beku Ariel

Di balik permukaan es yang retak dan berparit, Ariel, bulan Uranus paling terang dan kedua-terdekat dari planet induknya, mulai menampakkan kisah interiornya.

Ariel mungkin punya lautan di bawah tanah. Kredit: NASA/JPL-Caltech/PSI/Mikayla Kelley/Peter Buhler

Riset terbaru yang terbit di Icarus memodelkan evolusi samudra bawah permukaan Ariel dan menyimpulkan bahwa suatu masa dulu lautan cairnya bisa mencapai lebih dari 100 mil, atau sekitar 170 kilometer, jauh melampaui kedalaman rata-rata Samudra Pasifik di Bumi yang hanya 4 kilometer. Temuan ini memperkuat akumulasi bukti bahwa Ariel bukan sekadar bongkah es beku, melainkan dunia samudra (ocean world) yang pernah aktif.

Dengan diameter 1.159 kilometer, Ariel menampilkan mosaik geologi kontras: kawah-kawah purba berdampingan dengan lapisan halus yang diduga terbentuk oleh kriovulkanisme; sistem retakan, punggungan, dan graben terbentang pada skala yang jarang ditandingi di Tata Surya. Lanskap dramatis inilah yang memicu tim peneliti memadukan peta struktur permukaan skala besar dengan model regangan pasang surut. Kuncinya adalah eksentrisitas, seberapa lonjong orbit Ariel, dan ketebalan lapisan es di atas samudranya. Keduanya bersama-sama menentukan besarnya gaya tarik-ulang Uranus saat bulan ini bergerak di orbitnya, yang secara berkala meremukkan kerak seperti bola yang berubah bentuk dari “bundar” ke “oval” lalu kembali lagi.

Dengan memasukkan jaringan retakan yang tampak pada citra, model menunjukkan Ariel di masa lalu memerlukan eksentrisitas orbit sekitar 0,04, sekitar 40 kali nilai saat ini, agar regangan yang dihasilkan cukup kuat membentuk fitur-fitur retakan yang kita lihat hari ini. Angka 0,04 memang masih membuat orbit tampak nyaris melingkar, tetapi secara fisika cukup untuk memperhebat pasang surut; sebagai pembanding, eksentrisitas ini empat kali lebih besar dari milik Europa di Jupiter yang terkenal retak karena gaya pasang. Dari sisi interior, pola retakan Ariel konsisten dengan dua kemungkinan ekstrem yang sama-sama menuntut keberadaan samudra: es sangat tipis di atas lautan besar, atau es lebih tebal tetapi dibantu eksentrisitas tinggi. Kedua skenario bermuara pada satu hal: tanpa samudra, regangan tak akan menghasilkan jaringan retakan sebesar itu.

Studi ini juga mengaitkan Ariel dengan “saudara kembarnya” di sistem Uranus. Tahun lalu, tim yang sama melaporkan bukti serupa pada Miranda. Bersama-sama, keduanya mengisyaratkan bahwa Uranus mungkin menyimpan dua dunia samudra yang pernah aktif, setidaknya pada masa lampau geologisnya. Menariknya, sampai kini pengamatan resolusi tinggi baru menyingkap belahan selatan Ariel dan Miranda, sementara belahan utara belum pernah dipetakan secara detail. Namun keluaran model memberi prediksi lokasi retakan dan punggungan di wilayah yang belum teramati itu, target siap saji bagi wahana masa depan.

Kapan tepatnya samudra Ariel mencapai kedalaman maksimum masih samar. Akan tetapi, rangkaian simulasi ini memasok parameter penting, ketebalan es, intensitas regangan, dan evolusi eksentrisitas, bagi studi berikutnya tentang umur panjang lautan di objek-objek es luar Tata Surya. Di tingkat yang lebih luas, Ariel memperkaya daftar lingkungan potensial yang pernah layak bagi kimia aktif: air cair, sumber energi pasang surut, dan kerak rapuh yang memungkinkan pertukaran material antara permukaan dan interior.

Seiring menguatnya wacana misi ke Uranus pada dekade mendatang, Ariel menempati posisi strategis. Bukti samudra purba sedalam 170 kilometer, jaringan retakan lintas-benua, dan sinyal kriovulkanisme menjadikannya laboratorium alam untuk memahami bagaimana gaya pasang, panas internal, dan evolusi orbit bersama-sama membentuk dunia samudra, baik di sekitar Uranus maupun di planet-planet es lain di pinggiran Tata Surya.

Tinggalkan Balasan