Di balik tirai cincin Saturnus, Enceladus kembali memberi kejutan. Simulasi superkomputer terbaru menunjukkan bulan es ini menembakkan lebih sedikit es ke angkasa dibanding perkiraan selama ini.

Dengan memakai data warisan wahana Cassini dan teknik pemodelan gas langka (Direct Simulation Monte Carlo/DSMC), tim Texas Advanced Computing Center (TACC) bersama mitra internasional menghitung ulang laju massa yang menyembur dari geyser kriovolkaniknya dan menemukan angkanya 20–40% lebih rendah dari literatur terdahulu. Koreksi ini bukan sekadar statistik, ia mengubah cara ilmuwan menafsirkan mesin internal Enceladus dan merancang misi penjejak kehidupan berikutnya.
Sejak Cassini merekam pilar uap air dan butiran es yang memancar dari retakan “tiger stripes” di kutub selatan pada 2005, Enceladus naik kelas menjadi target utama astrobiologi. Semburan yang membentuk sub-cincin tipis di sekitar Saturnus itu jelas berasal dari laut asin di bawah kerak es. Namun berapa banyak materi yang benar-benar lolos ke ruang angkasa selama setiap letupan masih menjadi soal sulit, karena aliran partikel pada tekanan sangat rendah tidak mengikuti hukum fluida biasa.
Di titik inilah pendekatan DSMC menjadi krusial. Alih-alih memperlakukan semburan sebagai cairan mulus, metode ini melacak jutaan molekul secara individual, bagaimana mereka bertumbukan, bertukar energi, dan menyebar saat melesat dari ventilasi menuju vakum. Tim memperbarui kerangka kerja DSMC yang pernah mereka kembangkan pada 2019 dengan “parameterisasi” baru, kumpulan rumus cepat yang merangkum hasil simulasi berat, sehingga komputasi yang dulu butuh puluhan jam kini bisa dipanggil dalam milidetik. Dengan kombinasi kecerdasan numerik dan daya komputasi Lonestar6 serta Stampede3 di TACC, mereka memodelkan wilayah dari permukaan hingga ketinggian 10 kilometer, tempat semburan mulai melebar ke antariksa.
Hasilnya menyuguhkan dua hal penting. Pertama, laju aliran massa dari sekitar 100 sumber kriovolkanik bisa dipersempit tak hanya secara total, tetapi juga besaran lain yang sebelumnya sulit ditangkap, seperti temperatur keluaran dan rasio uap air terhadap butiran es. Kedua, karena gravitasi Enceladus yang lemah tak mampu menahan jet es, model yang lebih realistis terhadap medan tumbukan antar molekul menghasilkan pelarian massa yang lebih konservatif dibanding pendekatan gas-dinamika sederhana. Dengan kata lain, Enceladus tetap aktif, tetapi “anggaran” material yang ia kirim ke angkasa ternyata lebih irit.
Mengapa ini penting? Bagi astrobiologi, semburan adalah pipa sampel alami, komposisi butiran es dan uap yang menembus kulit es mencerminkan kimiawi laut di bawahnya. Jika laju massa direvisi turun, perhitungan fluks garam, organik, dan biomarker potensial ikut berubah. Untuk teknik misi, akurasi laju semburan berpengaruh pada desain lintasan terbang lintas, batas aman instrumen, hingga peluang pengambilan sampel in situ. Beberapa konsep misi NASA dan ESA, dari pengorbit yang memetakan kolom semburan hingga pendarat yang menargetkan endapan segar di sekitar ventilasi, akan diuntungkan oleh angka yang lebih tajam ini.
Studi ini juga menegaskan bahwa lanskap fisik Enceladus lebih bernuansa. Tidak semua ventilasi “menggila” setiap saat, ada variasi spasial dan temporal pada suhu, kerapatan, dan ukuran butiran. Deteksi masa depan, baik dari teleskop maupun wahana, perlu memperhitungkan dinamika ini untuk membedakan sinyal laut dari proses permukaan yang digerakkan radiasi dan cuaca ruang.
Pada akhirnya, koreksi 20–40% bukanlah demosi bagi Enceladus, melainkan penyelarasan kompas. Dengan pemahaman yang lebih presisi tentang seberapa banyak dan bagaimana materi melesat dari kedalaman, kita selangkah lebih dekat untuk menjawab pertanyaan terbesar, apakah laut hangat di bawah kulit es menyimpan jejak kehidupan?