ALMA kembali menyingkap dapur kelahiran bintang dengan ketajaman yang belum pernah dicapai. Tim astronom memetakan medan magnet di 17 wilayah kelahiran bintang masif.

Tim yang dipimpin Qizhou Zhang dari Center for Astrophysics | Harvard & Smithsonian berhasil melakukan pemetaan menggunakan polarisasi pada ALMA (Atacama Large Millimeter/submillimeter Array). Survei rekor ini menembus skala hanya beberapa ribu satuan astronomi, sekitar 10 kali jarak Matahari–Pluto, dan, untuk pertama kalinya, menghadirkan bukti statistik bahwa medan magnet yang tadinya menghambat keruntuhan awan gas akhirnya ikut “ditarik” dan sejajar dengan aliran materi yang jatuh. Singkatnya, saat densitas meningkat, gravitasi mengambil alih.
Selama puluhan tahun, perdebatan di astrofisika bertumpu pada pertanyaan sederhana namun rumit: saat awan molekul raksasa runtuh hingga kerapatan triliunan kali lebih besar dari gas antarbintang biasa, siapa yang paling menentukan? Gravitasi yang menarik ke dalam, atau medan magnet dan turbulensi yang menahan? Potret ALMA kini memberi jawaban berlapis. Arah medan magnet yang semula cenderung menghalangi aliran jatuh, berputar dan menata ulang diri mengikuti arus gas menuju pusat, tanda jelas dominasi gravitasi seiring keruntuhan berlangsung.
Kekuatan studi ini ada pada statistik, bukan pada satu atau dua objek. Dengan sampel 17 daerah pembentuk gugus bintang masif, tim mengukur orientasi medan magnet pada berbagai jarak dari protobintang. Polanya tidak acak: orientasi medan magnet cenderung memilih dua keadaan, sejajar dengan arah keruntuhan atau tegak lurus terhadapnya. Preferensi ganda ini menyiratkan ada fase-fase berbeda dalam perjalanan awan gas: pada tahap tertentu medan magnet masih menyalurkan dan membentuk aliran materi, namun di tahap lebih dalam gravitasi mulai menyeret garis-garis medan untuk mengikuti arus akresi.
Hasil ini menggeser titik berat argumen lama. Medan magnet terbukti penting dalam mengukir geometri awal awan dan mengarahkan aliran, tetapi saat skala mengecil dan kerapatan menanjak, gravitasi menjadi konduktor utama orkestra pembentukan bintang masif. Bagi teori, temuan ini adalah jangkar baru: model numerik kini perlu mereproduksi realignment medan magnet terhadap arus jatuh pada skala ribuan SA, bukan sekadar memprediksi penguatan atau pelemahan medan secara global.
Dampaknya melampaui ranah bintang masif. Cara awan runtuh, berputar, dan memutar medan magnet turut menentukan apakah sebuah inti akan membentuk satu bintang raksasa, sistem bintang ganda, atau menyemai gugus. Aliran materi yang terarah juga memengaruhi pembentukan piringan akresi dan lingkungan tempat planet lahir di sekitar bintang yang lebih kecil. Dengan kata lain, peta medan magnet ALMA tidak hanya menjawab “bagaimana bintang masif lahir,” tetapi juga menyudutkan pertanyaan lanjutan: di tahap mana medan magnet berhenti “mengatur lalu lintas” dan menyerahkan rute kepada gravitasi?
Secara teknis, keberhasilan ini bertumpu pada sensitivitas dan resolusi polarisasi ALMA. Debu yang sejajar dengan medan magnet memancarkan radiasi terpolarisasi, dan dari sini arah medan dapat diturunkan. Mengulangi pengukuran itu pada banyak lokasi dan skala berbeda, lalu mengikatnya ke posisi protobintang dan gradien gravitasi, memberi gambaran evolusi medan yang tidak mungkin dicapai teleskop generasi sebelumnya.
Pada akhirnya, survei polarisasi terbesar ALMA ini menetapkan standar baru: dalam pertarungan sunyi di jantung awan molekul, medan magnet membentuk panggung, namun gravitasi yang menurunkan tirai kelahiran bintang-bintang paling masif di galaksi.