Apakah Materi Gelap Patuh Pada Hukum Fisika Klasik?

Apakah materi gelap, komponen misterius yang tak memancarkan atau memantulkan cahaya, mematuhi hukum fisika yang sama dengan materi biasa?

Peta distribusi galaksi. Kredit: Claire Lamman/Kolaborasi DESI; warna peta: cmastro.

Studi baru yang dipimpin peneliti University of Geneva (UNIGE) memberi jawaban yang semakin tegas: pada skala kosmologis, perilaku materi gelap tampak konsisten dengan fisika klasik yang mengatur planet, bintang, dan galaksi. Namun, ruang bagi kejutan belum sepenuhnya tertutup.

Gambaran besarnya demikian. Struktur raksasa di alam semesta terbentuk karena ruang-waktu terdistorsi oleh massa, menciptakan “sumur gravitasi”. Materi biasa, gas, debu, bintang, hingga galaksi, mengalir ke sumur tersebut mengikuti hukum yang sudah mapan: relativitas umum Einstein dan, untuk aliran fluida kosmik, persamaan Euler. Pertanyaannya, apakah materi gelap, yang lima kali lebih melimpah daripada materi biasa, jatuh dan mengalir dengan cara yang sama, ataukah ada “gaya kelima” yang diam-diam menarik atau mendorongnya?

Untuk mengujinya, tim UNIGE membandingkan dua hal yang dapat diukur dari survei kosmologi modern: kedalaman sumur gravitasi dan kecepatan galaksi. Intuisinya sederhana: jika galaksi, yang massanya didominasi materi gelap, hanya merespons gravitasi, maka laju jatuhnya ke sumur harus mengikuti hukum yang sama seperti materi biasa. Sebaliknya, jika materi gelap merasakan gaya tambahan, pola kecepatannya akan menyimpang dari prediksi gravitasi murni.

Analisis pada kumpulan data kosmik terkini menunjukkan kecocokan dengan skenario “tanpa gaya kelima”: materi gelap tampak mematuhi persamaan Euler saat mengalir ke sumur gravitasi, sama seperti materi biasa. Hasil ini menguatkan gambaran standar pembentukan struktur, bahwa gravitasi mengendalikan tarian materi, sementara materi gelap bertindak sebagai kerangka tak kasatmata yang menuntun pertumbuhan galaksi dan gugusnya.

Meski begitu, tim tidak menutup pintu bagi interaksi baru. Jika gaya kelima memang ada, kekuatannya harus sangat kecil: kurang dari sekitar 7% dari kekuatan gravitasi. Batas ini muncul karena efek gaya tambahan yang lebih besar seharusnya sudah meninggalkan jejak jelas pada hubungan antara kedalaman sumur dan kecepatan galaksi, jejak yang belum terlihat di data sekarang.

Di sini, detail “klasik” menjadi penting. Persamaan Euler menggambarkan bagaimana fluida bergerak di bawah pengaruh gaya (dalam kosmologi, “fluida” yang dimaksud adalah medium materi pada skala besar). Kepatuhan materi gelap pada persamaan ini berarti momentumnya terjaga dan percepatannya sejalan dengan gradien potensial gravitasi, tepat seperti yang terjadi pada materi biasa. Dengan kata lain, pada skala besar, materi gelap tidak bertingkah “aneh”; ia bermain sesuai aturan lama.

Langkah berikutnya adalah memperketat uji ini dengan data yang lebih tajam. Eksperimen generasi baru, seperti Legacy Survey of Space and Time (LSST) di Observatorium Vera C. Rubin dan survei spektroskopi DESI, akan memetakan jutaan galaksi dan kecepatan alirannya dengan presisi lebih tinggi. Sensitivitas gabungan keduanya diperkirakan mampu menguji gaya tambahan serendah ~2% dari gravitasi. Jika masih tidak terdeteksi, ruang bagi teori gaya kelima akan makin sempit; jika ada sinyal halus yang menyimpang, kosmologi bisa memasuki bab baru.

Bagi kosmologi observasional, ini adalah kemajuan penting: karakterisasi langsung bagaimana materi gelap merespons medan gravitasi di alam semesta nyata, bukan sekadar di dalam simulasi. Bagi fisika fundamental, hasilnya menegakkan pilar “standar” sambil tetap membuka jendela kecil ke kemungkinan interaksi baru. Dalam sains, dua hal ini sama berharganya: kepastian yang menguatkan teori, dan keraguan terukur yang menjaga pikiran tetap waspada.

Tinggalkan Balasan