Eksperimen Mencari Asal-Usul Air di Eksoplanet Sub-Neptunus

Di dunia pencarian kehidupan di luar Bumi, air selalu menjadi kata kunci. Planet yang “basah” dipandang lebih mungkin mendukung kondisi laik huni, sementara planet yang kering dianggap kurang menjanjikan.

Kandidat Planet Laik Huni vs bukan laik huni. Kredit: Harvard SEAS
Kandidat Planet Laik Huni vs bukan laik huni. Kredit: Harvard SEAS

Tapi dari mana air di sebuah planet sebenarnya berasal? Apakah selalu harus datang dari jauh—diantar komet dan asteroid es dari tepian sistem planet?

Tim ilmuwan yang dipimpin peneliti dari Lawrence Livermore National Laboratory (LLNL) menunjukkan bahwa eksoplanet jenis sub-Neptunus bisa membentuk air langsung dari dalam planet itu sendiri, melalui reaksi kimia ekstrem di kedalaman yang tak pernah kita saksikan.

Eksoplanet Sub-Neptunus: Umum, tapi Ane

Sub-Neptunus adalah planet-planet yang mengorbit bintang lain, dengan ukuran sekitar 2–4 kali jari-jari Bumi. Mereka bukan raksasa gas sebesar Neptunus, tapi juga bukan planet batuan seperti Bumi. Yang menarik, tipe planet ini justru termasuk yang paling umum di galaksi, meskipun kita tidak punya contoh serupa di Tata Surya.

Data dari misi Kepler milik NASA menunjukkan banyak sub-Neptunus mengorbit sangat dekat dengan bintang induknya. Model teoritis lalu membagi planet-planet ini menjadi dua kelas besar: sub-Neptunus “basah” yang kaya air, dan sub-Neptunus “kering” yang lebih mirip dunia batuan panas.

Masalahnya, di jarak sedekat itu dengan bintang, temperatur biasanya terlalu tinggi untuk mempertahankan air. Karena itu, para ilmuwan selama ini berasumsi bahwa kalau ada air, pasti ada “trik” lain: planet terbentuk jauh di wilayah dingin, lalu bermigrasi ke dalam, atau air diantarkan kemudian oleh komet dan asteroid yang datang dari pinggiran sistem.

Menciptakan Inti Planet di Dalam Laboratorium

Alih-alih memulai dari luar planet, tim ini memilih untuk melihat apa yang bisa terjadi di dalam. Mereka fokus pada batas antara atmosfer hidrogen tebal dan lautan magma silikat, wilayah dalam planet yang pada sub-Neptunus kering diperkirakan mengalami tekanan dan temperatur sangat tinggi.

Untuk menirukan kondisi ekstrem tersebut, para peneliti menggunakan diamond-anvil cell yang dipanaskan dengan laser, sebuah alat laboratorium yang mampu menekan dan memanaskan sampel hingga menyerupai kondisi interior planet. Di dalam sel ini, hidrogen dan silikat cair—bahan penyusun batuan—dipertemukan.

Hasilnya mengejutkan: pada tekanan dan suhu tinggi, silikat cair dapat bereaksi dengan hidrogen, melepaskan oksigen dari struktur mineral. Oksigen ini kemudian bereaksi kembali dengan hidrogen, membentuk air dalam jumlah yang signifikan. Dengan kata lain, antarmuka antara atmosfer hidrogen dan magma bukan hanya zona pasif, tetapi pabrik kimia yang efektif menghasilkan air.

Planet Kering yang Bisa Menjadi Basah

Eksperimen ini menunjukkan bahwa air tidak selalu harus datang dari wilayah dingin di luar, lalu dibawa masuk. Dalam kondisi tertentu, air bisa “diproduksi lokal” di dalam planet.

Jumlah air yang terbentuk bergantung pada komposisi dan kondisi internal sub-Neptunus—tekanan, temperatur, dan jenis silikat yang terlibat. Artinya, planet yang awalnya tergolong kering dapat, seiring waktu, membangun cadangan air dan berevolusi menjadi sub-Neptunus basah.

Temuan ini mengguncang asumsi dasar dalam teori pembentukan planet dan migrasi orbit. Alih-alih membayangkan dua kelas planet yang terbentuk melalui mekanisme berbeda, kini terbuka kemungkinan bahwa “kering” dan “basah” hanyalah dua tahap dalam satu jalur evolusi yang sama.

Implikasi untuk Pencarian Kehidupan

Dalam era teleskop luar angkasa dan teleskop raksasa di Bumi yang sibuk berburu eksoplanet, hasil ini membawa kabar penting. Jika air bisa terbentuk secara internal pada sub-Neptunus yang mengorbit dekat bintang, maka jumlah dunia yang berpotensi memiliki air mungkin jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.

Bagi pencarian kehidupan, itu berarti lebih banyak kandidat planet yang layak dipelajari atmosfernya, lebih banyak dunia yang mungkin menyimpan lautan tersembunyi, dan lebih banyak skenario yang harus kita pertimbangkan ketika menafsirkan data dari pengamatan.

Studi ini tidak hanya menambah satu “jalan baru” menuju terbentuknya air di planet, tetapi juga memaksa kita mengulang kembali banyak asumsi dasar: bagaimana planet terbentuk, bagaimana mereka berevolusi, dan sejauh mana alam semesta memberi kesempatan bagi munculnya lingkungan yang cocok untuk kehidupan.

Tinggalkan Balasan