Kembang Api Kosmik di Sistem Fomalhaut

Astronom menemukan dua awan debu raksasa dari tabrakan planetesimal di sekitar bintang Fomalhaut, yang menyingkap misteri kandidat planet.

Tabrakan komet di sistem Fomalhaut. Kredit: Thomas Müller (MPIA/HdA)

Selama hampir dua dekade, bintang Fomalhaut menyimpan sebuah misteri yang menantang batas pengamatan manusia.

Pada tahun 2008, bintang ini menjadi pusat perhatian dunia ketika para ilmuwan mengumumkan penemuan Fomalhaut b—planet luar surya pertama yang berhasil diabadikan secara langsung dalam cahaya tampak. Objek itu tampak seperti titik terang kecil yang mengorbit di dalam cincin debu es raksasa, sekitar 25 tahun cahaya dari Bumi. Namun, seiring berjalannya waktu, titik terang itu mulai meredup, mengembang, hingga akhirnya lenyap sepenuhnya dari pandangan pada tahun 2014. “Planet” tersebut seolah-olah menguap ke dalam kegelapan ruang angkasa.

Kini, sebuah studi terbaru akhirnya menutup kasus planet hantu tersebut dengan penjelasan yang jauh lebih dramatis: sebuah tabrakan kosmis berskala masif.

Para astronom menemukan bahwa apa yang sebelumnya dikira sebagai planet sebenarnya adalah awan debu raksasa yang dihasilkan dari benturan hebat antara dua objek berukuran gunung. Hebatnya lagi, fenomena ini tidak hanya terjadi sekali. Para ilmuwan telah menyaksikan sisa-sisa dari dua tabrakan dahsyat dalam kurun waktu hanya 20 tahun di sistem yang sama. Peristiwa pertama terdeteksi pada 2004, dan tabrakan kedua baru saja tertangkap kamera pada tahun 2023. Ini adalah citra langsung pertama dari tabrakan antara objek besar di sistem bintang lain.

Laboratorium di Langit Selatan

Fomalhaut adalah bintang muda yang enerjik di rasi bintang Piscis Austrinus. Dengan usia sekitar 440 juta tahun, bintang ini menjadi jendela bagi para ilmuwan untuk melihat masa lalu Tata Surya. Saat Matahari kita masih semuda Fomalhaut, lingkungan di sekitarnya dipenuhi oleh puing-puing batu, es, dan komet yang saling bertabrakan dengan kecepatan tinggi dalam upaya membentuk planet dan bulan.

Objek-objek yang terlibat dalam tabrakan di Fomalhaut ini dikenal sebagai planetesimal, yakni blok bangunan dasar sebuah planet. Berdasarkan tingkat kecerahan awan debu yang dihasilkan, para peneliti memperkirakan objek-objek tersebut memiliki lebar setidaknya 30 kilometer. Ukuran ini dua kali lebih besar dari asteroid yang menabrak Bumi 66 juta tahun lalu dan memusnahkan dinosaurus.

Di sekitar Fomalhaut, benturan semacam ini sangat kuat sehingga menghancurkan objek tersebut menjadi kabut es yang sangat halus. Kabut ini memantulkan cahaya dari bintang induknya, menciptakan titik terang yang mudah disalahartikan sebagai planet yang padat. Namun, tekanan radiasi dari cahaya bintang perlahan-lahan mendorong partikel debu halus ini ke arah luar, menyebabkan awan tersebut memuai, memudar, dan akhirnya menghilang.

Misteri Cincin yang Berkilau

Penemuan tabrakan kedua, yang kini disebut sebagai Fomalhaut cs2, sangat mengejutkan komunitas ilmiah. Model standar pembentukan planet memprediksi bahwa tabrakan sebesar ini sangat jarang terjadi, mungkin hanya sekali setiap 100.000 tahun dalam sebuah sistem. Menemukan dua kejadian dalam selang waktu 20 tahun menunjukkan dua kemungkinan: para astronom sangat beruntung, atau sistem bintang muda jauh lebih padat dan lebih sering mengalami kekacauan daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Sistem Fomalhaut diperkirakan memiliki sekitar 300 juta objek seukuran planetesimal tersebut. Data sebelumnya menunjukkan kehadiran gas karbon monoksida, yang mengindikasikan bahwa objek-objek ini kaya akan es dan material volatil, mirip dengan komposisi komet yang menghuni tepian Tata Surya.

Alih-alih menjadi sistem planet yang tenang dan mapan, wilayah di sekitar Fomalhaut lebih mirip dengan pertunjukan kembang api dalam gerakan lambat. Selama puluhan ribu tahun, sistem ini akan terus “berkilau” saat objek-objek raksasa tersebut saling beradu, menciptakan titik-titik cahaya yang bersinar selama satu dekade sebelum akhirnya melebur kembali menjadi debu angkasa.

Peringatan bagi Pemburu Planet

Penemuan ini menjadi peringatan penting bagi generasi astronom berikutnya. Saat ini, manusia tengah bersiap meluncurkan teleskop yang lebih canggih, seperti Habitable Worlds Observatory, yang bertujuan untuk memotret planet mirip Bumi secara langsung. Fenomena di Fomalhaut membuktikan bahwa alam bisa menipu mata.

Sebuah titik cahaya kecil yang mengorbit sebuah bintang mungkin bukanlah dunia yang solid di mana kehidupan bisa berkembang, melainkan sisa-sisa kehancuran dari sebuah bencana kosmis. Para astronom kini harus lebih berhati-hati dalam mengonfirmasi penemuan planet baru agar tidak tertipu oleh “planet hantu” yang sebenarnya adalah awan debu.

Penyelidikan terhadap Fomalhaut masih jauh dari kata selesai. Tim peneliti telah mendapatkan waktu pengamatan tambahan dengan Teleskop Antariksa James Webb (JWST) dan Teleskop Hubble selama tiga tahun ke depan. Mereka akan terus melacak evolusi awan debu terbaru ini untuk melihat bagaimana ia mengembang dan menentukan orbit pastinya. Hingga pengamatan terakhir pada Agustus 2025, awan cs2 tersebut masih terlihat jelas dan bahkan 30% lebih terang daripada awan pertama yang ditemukan dua dekade lalu.

Tinggalkan Balasan