Kompleksitas di bawah Permukaan Enceladus

Tim dari Southwest Research Institute (SWRI) mengembangkan model geokimia terbaru yang mengungkap keberadaan karbon dioksida (CO2) di dalam Enceladus.

Struktur interior Enceladus. Kredit: NASA/JPL-Caltech
Struktur interior Enceladus. Kredit: NASA/JPL-Caltech

CO2 di dalam satelit Saturnus yang memiliki lautan ini tampaknya dikendalikan oleh reaksi kimia di dasar laut.

Dengan memelajari pelepasan plume gas dan potongan es dari retakan permukaan Enceladus, bisa diketahui kalau interior satelit ini lebih kompleks dari dugaan awal. Komposisi plume gas yang dilepaskan bisa memberi informasi terkait bagaimana lautan di Enceladus menjadi seperti saat ini dan apakah kehidupan yang kita kenal bisa berevolusi di sana.

Untuk itulah dilakukan analisis komposisi plume gas untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi CO2 terlarut di dalam lautan. Dengan demikian para astronom bisa menyelidiki proses yang lebih lanjut.

Analisis data spektrometri massa pada wahana Cassini memberi indikasi kelimpahan CO2 berasal dari reaksi geokimia antara inti batuan di enceladus dengan air pada bagian bawah permukaan lautan. Jika informasi ini digabungkan dengan penemuan silikan dan molekul hidrogen (H2) sebelumnya, maka inti Enceladus lebih kompleks dengan beraneka ragam geokimia.

Hasil analisis memperlihatkan Enceladus tampaknya melakukan penyerapan karbon besar-besaran. Di Bumi, para ilmuwan justru sedang meneliti apakah proses serupa bisa digunakan untuk mengurangi emisi CO2. Dari dua set data berbeda, bisa diketahui kalau rentang konsentrasi CO2 memiliki kemiripan dengan pembentukan dan penguraian campuran mineral tertentu yang mengandung karbon dan silikon di dasar laut.

Fenomena lain yang ikut berperan dalam kompleksitas ini adalah kehadiran ventilasi hidrotermal, retakan pada permukaan yang secara geotermal memanaskan lautan. Di dasar laut di Bumi, ventilasi hidrotermal ini memancarkan cairan panas yang kaya energi dan sarat mineral. Cairan yang dipancarkan ini yang memungkinkan ekosistem yang terdiri dari makhluk yang tidak umum untuk bertumbuh.

Singkatnya, Inti kompleks dan air laut dengan antarmuka dinamik berpotensi untuk menghasilkan sumber energi yang mendukung kehidupan. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti keberadaan kehidupan mikroba dalam lautan Enceladus. Akan tetapi, semakin banyak bukti terkait ketidakseimbangan kimia justru menjadi petunjuk menarik bahwa kondisi laik huni bisa saja ada di bawah kerak satelit tersebut.

Terbang lintas Cassini di Enceladus pada tanggal 28 Oktober 2015 memperlihatkan keberadaan H2 dan partikel kecil silika, dua senyawa kimia yang menjadi penanda proses hidrotermal. Sumber yang berbeda dari CO2, silika, dan H2 menjadi indikasi lingkungan dengan mineral dan termal yang beragam di inti batuan Enceladus. Para astronom menduga inti batuan ini memiliki lapisan terluar terkarbonasi dan bagian interior yang terserpentinisasi.

Karbonat umumnya terdapat pada batuan sedimen seperti batu kapur di Bumi, sementara mineral serpentin terbentuk dari batuan beku di dasar laut yang kaya magnesium dan besi. Diduga, oksidasi hidrotermal dari besi tereduksi di dalam inti menghasilkan H2, sedangkan aktivitas hidrotermal yang beririsan dengan batuan berkarbonasi yang mengandung kuarsa akan menghasilkan cairan yang kaya silika. Batuan seperti itu juga berpotensi memengaruhi proses kimia CO2 di lautan lewat reaksi silikat dan karbonat pada temperatur rendah di dasar laut.

Implikasi terkait kemungkinan tumbuhnya masih menjadi pertanyaan. Akan tetapi, model yang dibuat ini bisa menjelaskan bagaimana proses perubahan pada planet menghasikan gradien kimia (energi) yang dibutuhkan untuk kehidupan di bawah permukaan laut.

Kredit: SWRI

Tinggalkan Balasan